Cerpen berjudul Cerita Hati (Ungkapan Tentang Perasaan) ini yaitu cerpen terbaru karya Deny Fadjar Suryaman, dan merupakan sekuel dari cerpen sebelumnya Cerita Hati (Ketika Hati Tak Mampu Mengungkapkan).
Fajar di ufuk barat telah menampilkan sinarnya, kemudian masuk melalui celah-celah gorden menembusnya hingga bisa menusuk kulit Aini yang sedang terlelap dalam tidurnya. Kicau dari sang gereja kecil pun terdengar manyapa di pagi nan indah ini, yang memadukan bunyi keramaian pagi menjadi bunyi melodi yang harmonis. Sinar di pagi ini cukup terik menyapa, menerbangkan tetesan embun yang melekat di dedaunan yang menghiasi ranting-ranting pohon. Aini pun terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi hanya untuk sekedar membasuh mukanya yang kusam. Lalu beliau pun melangkahkan kakinya keluar rumah menuju tempat di mana Rian biasa menyendiri. Yah, sebuah tempat di mana terhampar luas padang rumput yang indah yang bisa menyegarkan mata siapa pun yang memendangnya. Suasana di luar rumah sedikit sejuk namun cukup menciptakan badan menjadi beku, dengan balutan terik sinar mentari pagi yang sedikit memberi kehangatan pada badan Aini. Dia pun berjalan menuju tempat itu dalam keramaian pagi. Dalam balutan keheningan dalam dirinya yang enggan terlibat dalam keramaian pagi. Dia hanya melontarkan senyum yang terpancar dari wajahnya yang cantik. Dan beliau pun tetap melangkahkan kakinya ke tempat tujuannya semula.
Tepat di sudut tempat tinggalnya yang berada di tempat yang di kelilingi oleh pegunungan yang masih asri, beliau pun hingga pada tempat tujuannya. Dengan balutan pakaian mantelnya yang membungkus tubuhnya yang beku. Yah, walau mentari bersinar cukup terik, namun suasana di tempatnya memang sangat dingin, sebab berada di tempat perbukitan yang berselimutkan kabut yang menghiasinya.
Sudah hampir dua ahad beliau sering mengunjungi tempat ini, yah lebih tepatnya semenjak kepergian Rian untuk menghadap sang tuhan. Dia sadar bila bergotong-royong Rian sangat sayang dan cinta kepadanya, hanya karna beliau takut meninggalkan drinya di ketika yang tak sempurna yang menciptakan Rian urung mengungkapkan isi hatinya kepada dirinya. Sangat di sayangkan, karna sesungguhnya beliau berharap Rian bisa mengatakannya kapada dirinya, karna memang sesungguhnya beliau juga mempunyai perasaan yang sama dengan Rian. Di tempat itu Aini biasa duduk mengenang ketika beliau masih sering mengunjungi tempat itu dengan Rian. Dia masih belum bisa mendapatkan kenapa Rian harus meninggalkan beliau dengan begitu cepat, padahal pertemanan beliau pun belum begitu usang terjalin. Aini selalu mendesah dalam hatinya, ‘seandainya saja saya yang bisa mengatakannya terlebih dahulu, mungkin ada sedikit kenangan yang hadir ketika rasa cintanya bisa bersatu’. Namun itu hanya sebuah angan-angan kosong yang ada dalam khayalannya belakangan ini, dan hal itu juga yang hingga ketika ini menciptakan Aini sering mengunjungi tempat itu. Belakanga beliau pun sering melaksanakan hal yang sama yang dilakukan Rian di tempat itu, beliau jadi sering menuangkan apa yang ada di hati dan perasaannya dalam sebuah goresan pena dalam buku harian, beliau jadi sering menciptakan puisi atau hanya sekedar menceritakan apa yang sedang beliau rasakan dalam hati dan perasaannya. Buku harian itu selalu beliau bawa ketika beliau tiba ke tempat itu, dan selalu menjadi sobat yang setia menemain beliau duduk di hamparan rumput yang seolah menjadi karpet tempatnya berbaring. Di sana beliau sangat mencicipi keheningan, karna yang terdengar hanyalah hembusan angin yang menggerakkan ranting-ranting pepohonan hingga menghasilkan bunyi yang terdengar di telinga. Itu yang selalu di kenangnya, karna Rian tiba ke tempat itu karna alasan yang sama menyerupai apa yang sedang Aini rasakan ketika beliau berada di tempat itu.
Pagi itu beliau merangkai sebuah puisi yang menggambarkan suasana di pagi itu. Puisi yang bisa membuatnya tersenyum karna tak menyangka beliau bisa merangkai kata-kata indah dalam sebuah tulisan. Puisi yang terlihat sederhana, dengan pemilihan kata-kata yang simple namun gampang di mengerti olehnya sendiri. Puisi yang mempunyai makna berharga bagi dirinya.
Itu sebuah puisi yang beliau rangkai dalam buku hariannya pagi itu. Sekarang jam di tangannya sudah membuktikan pukul setengah delapan, sudah waktunya beliau kembali menuju rumahnya untuk berkemas-kemas berangkat kuliah. Semenjak lulus Sekolah Menengan Atas beliau melanjutkan kuliahnya di universitas negeri populer di erat rumah tempat tinggalnya. Dia kuliah di jurusan psikologi, sudah semenjak sekolah dulu beliau bercita-cita kuliah jurusan psikologi. Karna keinginannya yang ingin menjadi psikolog.
Jam kuliahnya gres akan di mulai pukul 09.00 pagi ini, namun beliau sudah tiba di kampus setengah jam sebelum jam kuliah di mulai. Itu karna beliau ingin membereskan sedikit kiprah kuliahnya yang dikerjakannya semalam yang masih sedikit berantakan.
“Hay dhil”. Aini menyapa teman’y yang sedang duduk sambil melamun.
“i..iya”. jawab singkat dhila yang merasa kaget. “ah, kau Aini, mengagetkan saya saja”. Sambungnya lagi.
“hehehhee..maaf-maaf”
“oia, sekarag kau mau ke tempat Rian biasa menghabiskan waktu atau mau pribadi pulang”. Lanjut dhila
“iya, soalnya kalau saya ke sana hati tuh tenang”.ungkap Aini
“ah, kau gak ada bosennya yah pergi ke sana setiap pagi dan sore”
“aku ikut yah? Ada yang ingin saya kasih liat ke kamu”
“apa”. Tanya Aini penasaran.
“nanti saja di sana”
Aini dan dhila pun meninggalkan kampus dan pergi ke tempat Rian biasa menghabiskan waktunya.
Sesampainya di tempat itu Aini menyerupai biasanya beliau duduk di hamparan rumput yang menjadi alasnya. Dengan lamunannya yang tenang beliau pun menatap langit senja yang mulai menampakan keindahanya yang begitu mempesona. Dari tempatnya dudk memang sempurna mengarah ke barat di mana tempat matahari tebenam dan menampakkan jingganya yang melukis langit sore. Aini dan dhila hanya hening duduk di tempat itu sambil menikmati keindahan suasana ketika itu. Aini yang hening termenung karna memikirkan Rian yang slalu ada dalam fikirannya, dan dhila yang hening karna beliau merasa gila pada Aini yang terlalu terlarut pada Rian yang sudah tiada.
“aku sudah tebak kau cuma belakang layar saja di sini, paling sesekali cuma menggoreskan bolpoin kau di buku harianmu. Entah apa yang kau tulis di situ, saya saja gak tau.” Dhila memulai untuk pembicaraan.
“aku gak tau dhil kenapa saya masih terlarut mikirin Rian”, keluh Aini.
“mungkin kau hanya kaget saja Aini, karna kau gres tau kalau ternyata Rian punya penyakit itu. Maaf sebelumnya karna saya gak kasih tau kau semenjak saya tau. Rian yang minta saya tutup ekspresi wacana persoalan ini”.
“yah gak apa-apa kok. Aku cuma sedikit gak percaya kanapa beliau tidak berani mengungkapkan perasaannya sama aku. Apa karna beliau cuma sayang sesaat atau menyerupai apa saya gak tau. Yang saya tau dari sikapnya beliau sangat perhatian dan baik sama aku. Itu yang saya kira bila beliau suka sama aku”. Jelas Aini.
“ada banyak hal yang gak kau tau wacana Rian, Aini”. Jawab dhila.
“emang apa yang kau tau wacana Rian??”. Tanya Aini.
“mungkin saya gak tau banyak wacana Rian, tapi yang saya tau niscaya kalau beliau emang benar-benar sayang sama kamu. Dan rasa sayangnya itu sering beliau ceritakan kepadaku”. Dhila mencoba menjelaskan apa yang beliau tau wacana Rian.
“tapi kenapa beliau gak pernah mau bilang ke aku??”
“yah kalau itu saya sendiri gak tau, tapi beliau menitipkan buku yang slalu beliau bawa kemana pun beliau pergi dan memintaku untuk memberikannya kepadamu. Mungkin di situ ada tanggapan atas pertanyaanmu yang tadi. Dan hal itu juga yang ingin saya sampaikan kepada kau ketika di kampus. Maaf karna saya gres bisa menyampaikannya kepadamu kini karna mungkin kini saatnya saya kasih ke kamu.” Terang dhila sambil mengambil buku yang di titipkan Rian di dalam tasnya.
Aini pun terdiam sambil mengambil buku yang di sodorkan dhila kepadanya. Dia mencoba memandangi kata demi kata yang tertulis di buku itu. Banyak goresan pena yang tergores dalam buku yang selalu Rian bawa bahkan telah menjadi temannya yang paling setia menemani hidupnya hingga beliau pergi meninggalkan orang-orang yang beliau sayangi. Di dalam buku itu banyak puisi-puisi yang di buat oleh Rian, selain puisi-puisi juga di dalam buku itu terdapat tulisan-tulisan Rian yang menceritakan perasaan dan hatinya, wacana perasaan sayangnya kepada Aini, kedua orang tuanya, dan sahabat-sahabat dekatnya. Namun sontak Aini tercengah ketika melihat catatan di halaman terakhir yang di tulis Rian dalam buku tersebut. Di situ tertulis ‘dear Aini’. Dan matanya pun mulai membaca dengan penuh teliti dan serius.
Aini, mungkin itu yang bisa saya gambarkan tetangmu dimataku. Sebuah rangkaian puisi yang saya goreskan ketika rasa sayang ini mulai meracuni hatiku. Entah apa yang membuatmu menarik di mataku, namun bersamamu saya merasa tenang. Hati ini terasa tenang ketika berada erat denganmu. Namun jiwa ini tak bisa untuk memilikimu dan bibir ini tak bisa ungkapkan apa yang ku rasakan. Aku terlalu takut akan kesedihan, saya takut bila saya meninggalkan semuanya, ada kesedihan yang hadir dalam hidupmu, dan itu tak ingin terjadi. Dalam ukiran ini saya ingin sampaikan perasaanku ketika hati tak bisa mengungkapkan, ketika bibir ini membisu, ketika arahan suit di artikan, dan perilaku tak bisa menunjukan, mungkin hanya bisa tertanam dalam di hati ini. Kini saya tak tau apa yang harus ku lakukan untuk semua itu. Yang saya bisa lakukan hanya menggerakkan tangan ini untuk menggoreskan kata demi kata sebagai pelampiasan perasaan yang tak bisa ku ungkapkan. Seuntai baris puisi terakhirku untukmu yang ku persembahkan “hanya untukmu”.
Itu ukiran terakhir yang Rian tulis di halaman terakhir dalam buku yang telah menjadi sobat hidupnya. Akhinya Aini pun terbangun dari masa lalunya wacana Rian dan hanya bisa mendesah ketika menatap lembar kosong di buku hariannya Rian. "tak ada secercah harapan untuk mengenang masa lalu, yang saya ingin lanjutkan dalam hidup ini".
Fb : denyfajarsuryaman@rocketmail.com
Twitter : @denyfadjar
Denyfadjarsuryaman.blogspot.com
Fajar di ufuk barat telah menampilkan sinarnya, kemudian masuk melalui celah-celah gorden menembusnya hingga bisa menusuk kulit Aini yang sedang terlelap dalam tidurnya. Kicau dari sang gereja kecil pun terdengar manyapa di pagi nan indah ini, yang memadukan bunyi keramaian pagi menjadi bunyi melodi yang harmonis. Sinar di pagi ini cukup terik menyapa, menerbangkan tetesan embun yang melekat di dedaunan yang menghiasi ranting-ranting pohon. Aini pun terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi hanya untuk sekedar membasuh mukanya yang kusam. Lalu beliau pun melangkahkan kakinya keluar rumah menuju tempat di mana Rian biasa menyendiri. Yah, sebuah tempat di mana terhampar luas padang rumput yang indah yang bisa menyegarkan mata siapa pun yang memendangnya. Suasana di luar rumah sedikit sejuk namun cukup menciptakan badan menjadi beku, dengan balutan terik sinar mentari pagi yang sedikit memberi kehangatan pada badan Aini. Dia pun berjalan menuju tempat itu dalam keramaian pagi. Dalam balutan keheningan dalam dirinya yang enggan terlibat dalam keramaian pagi. Dia hanya melontarkan senyum yang terpancar dari wajahnya yang cantik. Dan beliau pun tetap melangkahkan kakinya ke tempat tujuannya semula.
Tepat di sudut tempat tinggalnya yang berada di tempat yang di kelilingi oleh pegunungan yang masih asri, beliau pun hingga pada tempat tujuannya. Dengan balutan pakaian mantelnya yang membungkus tubuhnya yang beku. Yah, walau mentari bersinar cukup terik, namun suasana di tempatnya memang sangat dingin, sebab berada di tempat perbukitan yang berselimutkan kabut yang menghiasinya.
Sudah hampir dua ahad beliau sering mengunjungi tempat ini, yah lebih tepatnya semenjak kepergian Rian untuk menghadap sang tuhan. Dia sadar bila bergotong-royong Rian sangat sayang dan cinta kepadanya, hanya karna beliau takut meninggalkan drinya di ketika yang tak sempurna yang menciptakan Rian urung mengungkapkan isi hatinya kepada dirinya. Sangat di sayangkan, karna sesungguhnya beliau berharap Rian bisa mengatakannya kapada dirinya, karna memang sesungguhnya beliau juga mempunyai perasaan yang sama dengan Rian. Di tempat itu Aini biasa duduk mengenang ketika beliau masih sering mengunjungi tempat itu dengan Rian. Dia masih belum bisa mendapatkan kenapa Rian harus meninggalkan beliau dengan begitu cepat, padahal pertemanan beliau pun belum begitu usang terjalin. Aini selalu mendesah dalam hatinya, ‘seandainya saja saya yang bisa mengatakannya terlebih dahulu, mungkin ada sedikit kenangan yang hadir ketika rasa cintanya bisa bersatu’. Namun itu hanya sebuah angan-angan kosong yang ada dalam khayalannya belakangan ini, dan hal itu juga yang hingga ketika ini menciptakan Aini sering mengunjungi tempat itu. Belakanga beliau pun sering melaksanakan hal yang sama yang dilakukan Rian di tempat itu, beliau jadi sering menuangkan apa yang ada di hati dan perasaannya dalam sebuah goresan pena dalam buku harian, beliau jadi sering menciptakan puisi atau hanya sekedar menceritakan apa yang sedang beliau rasakan dalam hati dan perasaannya. Buku harian itu selalu beliau bawa ketika beliau tiba ke tempat itu, dan selalu menjadi sobat yang setia menemain beliau duduk di hamparan rumput yang seolah menjadi karpet tempatnya berbaring. Di sana beliau sangat mencicipi keheningan, karna yang terdengar hanyalah hembusan angin yang menggerakkan ranting-ranting pepohonan hingga menghasilkan bunyi yang terdengar di telinga. Itu yang selalu di kenangnya, karna Rian tiba ke tempat itu karna alasan yang sama menyerupai apa yang sedang Aini rasakan ketika beliau berada di tempat itu.
Pagi itu beliau merangkai sebuah puisi yang menggambarkan suasana di pagi itu. Puisi yang bisa membuatnya tersenyum karna tak menyangka beliau bisa merangkai kata-kata indah dalam sebuah tulisan. Puisi yang terlihat sederhana, dengan pemilihan kata-kata yang simple namun gampang di mengerti olehnya sendiri. Puisi yang mempunyai makna berharga bagi dirinya.
“fajar di ufuk timur langit”
Fajar di ufuk timur menyapa
Tampilkan pesona jingga nan elok dan ceria
Bercampur dengan derai hembusan angin
Dan kicau dari sang gereja kecil
Kehadirannya bisa mengusir pilu di hati
Hadirkan ceria di pagi nan mempesona
Tunjukan keindahan lukisan langit
Yang tergores dalam lembaran angkasa
Dingin menerpa lembaran ari
Yang menusuk hingga kedalam hati
Kehadirannya pencarkan kehangatan cinta
Yang memekarkan bunga-bunga dalam jiwa
Itu sebuah puisi yang beliau rangkai dalam buku hariannya pagi itu. Sekarang jam di tangannya sudah membuktikan pukul setengah delapan, sudah waktunya beliau kembali menuju rumahnya untuk berkemas-kemas berangkat kuliah. Semenjak lulus Sekolah Menengan Atas beliau melanjutkan kuliahnya di universitas negeri populer di erat rumah tempat tinggalnya. Dia kuliah di jurusan psikologi, sudah semenjak sekolah dulu beliau bercita-cita kuliah jurusan psikologi. Karna keinginannya yang ingin menjadi psikolog.
Jam kuliahnya gres akan di mulai pukul 09.00 pagi ini, namun beliau sudah tiba di kampus setengah jam sebelum jam kuliah di mulai. Itu karna beliau ingin membereskan sedikit kiprah kuliahnya yang dikerjakannya semalam yang masih sedikit berantakan.
***
Tepat pukul empat sore Aini menyesaikan perkuliahnya yang tidak mengecewakan cukup padat hari ini. Dia pun keluar dari ruang kelasnya dan menyusuri lorong kampus menuju halaman depan kampus. Di sana sudah menunggu sobat dekatnya yang berjulukan dhila. Yah, Aini memang biasa pulang kuliah bersama sobat dekatnya yang satu itu. Selain karna dhila yaitu sobat dekatnya Aini beliau juga salah satu dari sobat erat Rian.“Hay dhil”. Aini menyapa teman’y yang sedang duduk sambil melamun.
“i..iya”. jawab singkat dhila yang merasa kaget. “ah, kau Aini, mengagetkan saya saja”. Sambungnya lagi.
“hehehhee..maaf-maaf”
“oia, sekarag kau mau ke tempat Rian biasa menghabiskan waktu atau mau pribadi pulang”. Lanjut dhila
“iya, soalnya kalau saya ke sana hati tuh tenang”.ungkap Aini
“ah, kau gak ada bosennya yah pergi ke sana setiap pagi dan sore”
“aku ikut yah? Ada yang ingin saya kasih liat ke kamu”
“apa”. Tanya Aini penasaran.
“nanti saja di sana”
Aini dan dhila pun meninggalkan kampus dan pergi ke tempat Rian biasa menghabiskan waktunya.
***
Dhila memang selalu menemani Aini pergi ke tempat itu bila beliau sedang ada waktu, karna beliau tahu betapa masih tidak percayanya Aini atas kepergian Rian. Dhila memang sobat yang tahu wacana apa yang menjadi rahasia dari Rian, baik wacana perasaannya kepada Aini, wacana penyakitnya, bahkan wacana hal-hal kecil sekali pun. Karna dhila sudah berteman dengan Rian semenjak beliau duduk di dingklik sekolah menengah pertama.Sesampainya di tempat itu Aini menyerupai biasanya beliau duduk di hamparan rumput yang menjadi alasnya. Dengan lamunannya yang tenang beliau pun menatap langit senja yang mulai menampakan keindahanya yang begitu mempesona. Dari tempatnya dudk memang sempurna mengarah ke barat di mana tempat matahari tebenam dan menampakkan jingganya yang melukis langit sore. Aini dan dhila hanya hening duduk di tempat itu sambil menikmati keindahan suasana ketika itu. Aini yang hening termenung karna memikirkan Rian yang slalu ada dalam fikirannya, dan dhila yang hening karna beliau merasa gila pada Aini yang terlalu terlarut pada Rian yang sudah tiada.
“aku sudah tebak kau cuma belakang layar saja di sini, paling sesekali cuma menggoreskan bolpoin kau di buku harianmu. Entah apa yang kau tulis di situ, saya saja gak tau.” Dhila memulai untuk pembicaraan.
“aku gak tau dhil kenapa saya masih terlarut mikirin Rian”, keluh Aini.
“mungkin kau hanya kaget saja Aini, karna kau gres tau kalau ternyata Rian punya penyakit itu. Maaf sebelumnya karna saya gak kasih tau kau semenjak saya tau. Rian yang minta saya tutup ekspresi wacana persoalan ini”.
“yah gak apa-apa kok. Aku cuma sedikit gak percaya kanapa beliau tidak berani mengungkapkan perasaannya sama aku. Apa karna beliau cuma sayang sesaat atau menyerupai apa saya gak tau. Yang saya tau dari sikapnya beliau sangat perhatian dan baik sama aku. Itu yang saya kira bila beliau suka sama aku”. Jelas Aini.
“ada banyak hal yang gak kau tau wacana Rian, Aini”. Jawab dhila.
“emang apa yang kau tau wacana Rian??”. Tanya Aini.
“mungkin saya gak tau banyak wacana Rian, tapi yang saya tau niscaya kalau beliau emang benar-benar sayang sama kamu. Dan rasa sayangnya itu sering beliau ceritakan kepadaku”. Dhila mencoba menjelaskan apa yang beliau tau wacana Rian.
“tapi kenapa beliau gak pernah mau bilang ke aku??”
“yah kalau itu saya sendiri gak tau, tapi beliau menitipkan buku yang slalu beliau bawa kemana pun beliau pergi dan memintaku untuk memberikannya kepadamu. Mungkin di situ ada tanggapan atas pertanyaanmu yang tadi. Dan hal itu juga yang ingin saya sampaikan kepada kau ketika di kampus. Maaf karna saya gres bisa menyampaikannya kepadamu kini karna mungkin kini saatnya saya kasih ke kamu.” Terang dhila sambil mengambil buku yang di titipkan Rian di dalam tasnya.
Aini pun terdiam sambil mengambil buku yang di sodorkan dhila kepadanya. Dia mencoba memandangi kata demi kata yang tertulis di buku itu. Banyak goresan pena yang tergores dalam buku yang selalu Rian bawa bahkan telah menjadi temannya yang paling setia menemani hidupnya hingga beliau pergi meninggalkan orang-orang yang beliau sayangi. Di dalam buku itu banyak puisi-puisi yang di buat oleh Rian, selain puisi-puisi juga di dalam buku itu terdapat tulisan-tulisan Rian yang menceritakan perasaan dan hatinya, wacana perasaan sayangnya kepada Aini, kedua orang tuanya, dan sahabat-sahabat dekatnya. Namun sontak Aini tercengah ketika melihat catatan di halaman terakhir yang di tulis Rian dalam buku tersebut. Di situ tertulis ‘dear Aini’. Dan matanya pun mulai membaca dengan penuh teliti dan serius.
‘Dear Aini
Bisu ketika ku memandangmu
Diam tanpa bisa ungkapkan sepatah kata
Karna terhipnotis oleh kecantikanmu
Yang membekukan hati dan jiwa
Terlukis indah pelangi di sudut mata
Yang mewarnai indahnya pesona wajahmu
Bagaikan replica kecantikan sag Cleopatra
Yang bisa menghipnotis diriku
Tak mampuku merangkai puisi
Memecahkan imajinasi dan inspirasiku
Menerbangkannya jauh bersama angin
Yng tak bisa untuk saya gapai
Aini, mungkin itu yang bisa saya gambarkan tetangmu dimataku. Sebuah rangkaian puisi yang saya goreskan ketika rasa sayang ini mulai meracuni hatiku. Entah apa yang membuatmu menarik di mataku, namun bersamamu saya merasa tenang. Hati ini terasa tenang ketika berada erat denganmu. Namun jiwa ini tak bisa untuk memilikimu dan bibir ini tak bisa ungkapkan apa yang ku rasakan. Aku terlalu takut akan kesedihan, saya takut bila saya meninggalkan semuanya, ada kesedihan yang hadir dalam hidupmu, dan itu tak ingin terjadi. Dalam ukiran ini saya ingin sampaikan perasaanku ketika hati tak bisa mengungkapkan, ketika bibir ini membisu, ketika arahan suit di artikan, dan perilaku tak bisa menunjukan, mungkin hanya bisa tertanam dalam di hati ini. Kini saya tak tau apa yang harus ku lakukan untuk semua itu. Yang saya bisa lakukan hanya menggerakkan tangan ini untuk menggoreskan kata demi kata sebagai pelampiasan perasaan yang tak bisa ku ungkapkan. Seuntai baris puisi terakhirku untukmu yang ku persembahkan “hanya untukmu”.
Berlariku dalam lorong hatiku
Mencoba untuk mencari senyum itu
Senyum yang bisa menghangatkan hati
Dalam balutan cahaya lentera hati
Sejenak berhenti, hanya untuk memikirkanmu
Menghitung setiap detik yang terlewatkan
Yang hilang terbawa debu pasir yang terbang
Merangkai kembali senyum yang mulai hilang
Lelah letih ku hanya untukmu
Dalam sandaran senyum dan luka
Desah nafas yang terbang berhembus
Melapaskan semua isi hati yang tertunda
Itu ukiran terakhir yang Rian tulis di halaman terakhir dalam buku yang telah menjadi sobat hidupnya. Akhinya Aini pun terbangun dari masa lalunya wacana Rian dan hanya bisa mendesah ketika menatap lembar kosong di buku hariannya Rian. "tak ada secercah harapan untuk mengenang masa lalu, yang saya ingin lanjutkan dalam hidup ini".
The End
Fb : denyfajarsuryaman@rocketmail.com
Twitter : @denyfadjar
Denyfadjarsuryaman.blogspot.com
Advertisement